IKLAN JILKER PLISS DI KLIK YAH

05 April 2012

PEMUDA KRISTEN GKPA YANG SALEH DAN BOLEH

               Sharing iman dalam kaitan antara iman dan profesi. Disampaikan dalam rangka seminar Pemuda GKPA Pekanbaru di Silangge 16 November 2010 1. Pendahuluan Kesempatan yang amat berharga bagi kami di Biro III GKPA untuk bersama-sama saudara Pemuda di GKPA Pekanbaru dan semua yang berkumpul saat ini untuk bersama-sama menggumuli topik yang penting tentang kehidupan pemuda Kristen. Dalam kesempatan yang berharga ini saya akan mencoba mendiskusikan dengan saudara sekalian tentang iman dan dunia kerja atau kepemimpinan. Tentu saja secara proporsional, saya akan lebih terfokus pada masalah-masalah etika sebagai dasar-dasar berpijak bagi umat. Topik ini menjadi popular dewasa ini karena setiap orang memiliki hubungan yang kuat antara iman dan dunia kerja, sekalipin banyak perbedaan sikap yang diperlihatkan oleh umat Kristen sendiri. Untuk maksud tersebut saya akan mencoba membahas topic ini dengan tiga sub topic yaitu : Yang pertama Iman dan kehidupan Sehari-hari (Kerja-Kepemimpinan), yang kedua Etos kerja Pemuda. 2. Iman dan kehidupan sehari-hari (Kerja-kepemimpinan) Secara nyata bahwa semua orang Kristen di tempat dimana bekerja selalu bersentuhan antara iman dan kerja, secara langsung atau tidak langsung, dengan pasti atau sedikit keragu-raguan, dalam penampilan atau gaya hidup. Untuk sebagian orang, iman dan kerja nampaknya harus diperkaya dan dikreasikan supaya berhubungan erat. Untuk sebagian lagi, nampaknya berpendapat sangat kontradiksi, punya jarak dan jangan dikaitkan sama sekali. Seorang teolog, yang bernama H.Richard Niebuhr dalam buku klasiknya Kristus dan Kebudayaan memperlihatkan bagaimana pemikir-pemikir Kristen dari bermacam-macam tradisi secara radikal memiliki perbeda-bedaan memahami bagaimana orang kristen melihat hubungannya dengan kehidupan masyarakat atau dunia pekerjaan atau juga budaya. Perbedaan-perbedaan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor : Perbedaan-perbedaan teologi, latar belakang sosio-ekonomi, pendidikan profesi, pengalaman hidup, politik dan lain-lain. Memang secara faktual bahwa tidak ada satu prinsip dan pendirian orang kristen yang berhubungan antara iman dan kerja. Dalam paper ini saya akan memberikan 5 ( lima ) nama yang mengilustrasikan beberapa tipe orang Kristen tentang hal di atas baik dari kaum pelayan gereja maupun kaum awam. Kelima orang ini ditampilkan dari bermacam-macam tradisi gereja, pekerjaan, tingkat ekonomi dan sektor - sektor ekonomi dalam masyarakat Amerika. Mereka menampilkan beberapa cara untuk memahami hubungan iman dan kerja. Hal ini bisa saja memiliki persamaan-persamaan dari perspektif kita di Indonesia. George Bremer. George Bremer berusia 59 tahun sebagai Wakil Presiden senior dari Perusahaan Telemax, yang berbasis pada Multi Nasional Coorporation, dimana dia telah mengabdi selama 25 tahun. Seorang pekerja yang setia. Keberhasilannya dalam dunia pekerjaan adalah membuat perkembangan yang amat berarti dalam perusahaan tersebut dari ukuran perusahaan dengan ukuran menengah : produksi dan pasar dalam negeri, single produk bagi Amerika menjadi korporasi global dengan memfasilitasi produksi di empat benua dan memiliki pasar hampir di seluruh negara-negara di dunia ini. George telah berbakti dalam kehidupan bergeraja sebagai seorang episkopalia dan menjadi anggota Gereja Episkopal Grace (ini adalah nama parlagutannya) selama 20 tahun. Dia menamakan dirinya sendiri sebagai seorang yang konservatif, pejuang yang tangguh, dan orang saleh. Pemahaman imannya telah menjadi suatu sumber kekuatan di dalam perubahan-perubahan pemahaman dunia tentang iman dan kerja. Jemaatnya telah memperlihatkan bahwa keluarganya menjadi bagian yang sangat penting. Bagi Geroge, iman keagamaan sangat mempengaruhi pribadi seseorang, bukan institusi masyarakat atau sistem masyarakat, jadi sangat pribadi. Secara jujur dia mengatakan bahwa kepercayaan diri, ketergantungan iman, kerja keras, menghormati kelebihan orang lain. Hal-hal tersebut merupakan nilai-nilai iman Kristen di dalam dunia kerja. Persaingan dan penampilan bebas dalam pasar global menuntut setiap orang bekerja keras dan berusaha dengan kuat untuk menjawab kebutuhan orang lain. George memperlihatkan kesuksesan pribadinya dalam pasar ekonomi sebagai makna penerapan penatalayanan iman kristen dalam bisnis. Bagi George kesuksesan dalam persaingan ekonomi adalah konsistensi yang sempurna dengan pemahamannya tentang iman kristen. George menganggap bahwa tidak ada kesalahan sedikitpun dengan kekayaan yang dia peroleh. Dia telah memperoleh itu secara adil dan jujur dengan cara mempertemukan kebutuhan ekonomi bagi banyak orang secara efisien dibandingkan dengan saingan - saingannya. Belakangan ini, George melihat sesuatu yang berubah oleh karena tantangan yang muncul di era globalisasi dan teknologi canggih, dia mulai meragukan kepercayaan yang kuat yang dipahaminya selama ini tentang keuntungan dari sistim pasar global. Lebih lanjut, meningkatnya diskusi publik tentang masalah-masalah lingkungan seperti pemanasan global, rusaknya lapisan ozon, polusi yang tinggi. George mulai meragukan apakah sistem ekonomi global akan berlanjut dari generasi ke generasi. Dia mulai memikirkan bagaimana membuat pertumbuhan ekonomi tanpa adanya bahaya yang lebih besar yang dapat mengancam kelangsungan dunia ini. Dalam hal ini dia mulai merasakan sesuatu yang salah, diperlengkapi sebagai seorang Kristen untuk mengetahui bagaimana response terhadap tantangan-tantangan baru di era ekonomi global. Jane Corey Jane Corey adalah seorang Pendeta yang energik berusia 42 tahun di dalam suatu denominasi gereja protestan liberal, sudah kawin dan memiliki dua anak. Sampai dengan usia 30 tahun dia merasa sebagai ibu yang penuh waktu mengurusi keluarga. Merasa terpanggil menjadi pendeta. Kemudian dia masuk ke seminary dengan latar belakang Ekumenikal. Dia menelusuri berbagai perpspektif teologi termasuk tentang teologi feminis dan teologi pembebasan. Selama itu dia mengalami banyak perubahan nilai, dan mencoba mengkritik diri sendiri. Selama waktu itu anaknya telah menyelesaikan sekolah SMUnya. Anak dan suaminya tidak sepenuhnya bisa menerima identitasnya yang baru sebagai pendeta perempuan. Dia banyak menerima panggilan utuk melayani di kota-kota besar Amerika. Jane mengerti bahwa Injil sebagai suatu kekuatan yang dapat merubah sesuatu di dunis ini, bukan hanya secara individu tetapi juga untuk sistem dan struktur sosial. Berdasarkan pemahamannya dari sudut pandang gerakan feminist melihat dunia sebagai suatu sistim yang patriarkhal, dimana kaum laki-lakilah yang memiliki suatu hak istimewa menjaga kelangsungan hidup ini dan meminggirkan kaum perempuan. Disamping itu aliran teologi pembebasan menuntun dia kepada pemahaman bahwa masyarakat telah dikuasai oleh dominasi pribadi dalam bidang ekonomi dan politik, yang membuat sebagian besar penduduk dunia terpinggirkan yaitu mereka yang miskin. Baginya kaum kapitalis adalah konsekuensi pertumbuhan dari kesenjangan sosial dan kapitalis adalah kejahatan. Menurut dia bahwa yang lebih bertanggungjawab untuk menjamin persamaan adalah pemerintah. Secara singkat Jane melihat kebutuhan yang mendesak dimana orang harus duduk bersama untuk mendiskusikan bagaimana hubungan iman dan kerja, tapi hal tersebut tetap menjadi tanggungjawab gereja untuk mempengaruhi pemerintah terhadap persamaan hak yang sesungguhnya, jangan sampai menimbulkan kesenjangan yang luar biasa sebagaimana sekarang ini dengan sistim kapitalis, ekonomi global, dll. Jane selalu melihat dirinya, pelayanannya dan seluruh kehidupan ini untuk kebersamaan. Pekerjaan dan kepemimpinan akan memiliki makna jika kehidupan bersama, keadilan sosial dan keutuhan seluruh ciptaan menjadi inti perjuangan, sebaliknya pekerrjaan dan kepemimpinan kurang bermakna jika hanya menguntungkan segelintir orang. Pemahaman ini membuat jane berjuang keras menentang kesenjangan sosial. Mark O Grady Mark O Grady adalah seorang pastor Katolik yang melayani jemaat dengan ukuran menengah bagi gereja Katolik. Berpegang pada tradisi Gereja Katolik tentang ajaran kemasyarakatan ( sosial teching ). Mark melayani umat dengan jemaat yang berbeda-beda situasi ekonomi dan profesi. Mark selalu memiliki pengharapan moral yang tinggi dan rasa sosial dalam semua aspek pekerjaan yang ditekuninya. Menurut dia setiap orang yang terlibat dalam semua aspek pekerjaan memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi dimana mereka bisa mempergunakan kekuasaan, kekayaan dan struktur sosial supaya orang banyak memperoleh keuntungan dari padanya. Mark sering merasakan kesal dan gagal dalam kepemimpinannya ketika melihat pertarungan korporasi besar menindas orang lemah, atau melalui korporasi besar dapat mematikan ekonomi orang-orang kecil. Menurut dia itulah yang sering terjadi dalam era globalisasi dewasa ini. Dan juga hal yang menyedihkannya adalah para anggota jemaat yang ikut dalam kompetisi global sekarang ini mengatakan bahwa sistim korporasi kapitalist sekarang ini merupakan sistim yang tidak bisa terelakkan lagi bahkan merupakan satu-satunya sistim untuk bertahan dalam persaingan, hal itu berarti seolah-olah membiarkan yang lemah tetap lemah, yang miskin tetap miskin dan yang terpinggirkan merupakan resiko era persaingan ini. Byron Newcomb Byron Newcomb berusia 48 tahun sebagai presiden dari New Comb and Associates, sebuah perusahaan agency periklanan milik keluarganya. Dia menghidupi kepercayaan Roma Katolik dan dalam banyak pelayanan ikut berpartisipasi aktif di jemaatnya. Dia dibesarkan dalam pendidikan sekolah-sekolah Katolik hingga universitas dan pernah mempertimbangkan untuk menjadi pastor, khususnya dalam penginjilan. Namun dia merubah keinginannya dan pemikirannya menjadi pastor dengan menikah dan sekarang memiliki tiga anak. Sebenarnya dia memasuki dunia bisnis keluarganya setelah selesai perkuliahan dan karirnya diangkat menjadi presiden dari perusahaan tersebut. Di bawah kepemimpinannya perusahaan berkembang sangat pesat. Melalui karirnya, dia mencoba memadukan iman, kepemimpinan dan bisnisnya. Byron sangat dipengaruhi oleh pengajaran sosial dari gereja RK dan para penulis teologi terkenal seperti Thomas Merton dan Albert Schwitzer. Demikian juga dalam praktek hidup sehari-hari dia selalu memulai hari-harinya dengan berdoa, membaca Alkitab dan meditasi. Dia memahami bahwa dengan usahanya untuk menghargai setiap individu, pelanggan dan semua orang yang berhubungan dengan pekerjaannya dapat dijadikan suatu usaha dalam melakukan perubahan-perubahan sosial, institusi dan lingkungan. Bagi Byron pekerjaan dan kepemimpinan merupakan sakramen, maksud Allah dalam memberikan kesempatan bekerja dan memimpin bisa memberikan nafas kehidupan bagi masyarakat. Dia selalu mengatakan bahwa kekristenan adalah yang pertama dan terutama dan kapitalis adalah yang kedua, dan dia selalu berkreasi dalam kedua sektor tersebut untuk saling menguatkan. Di dalam menjalankan bisnisnya dia selalu concern dengan produknya, dimana dia selalu mendorong dan menyetujui apabila iklan yang diberikan mempunyai dampak positif terhadap masyarakat dan selalu menolak ketika ada permintaan iklan yang dapat membahayakan nilai - nilai keagamaan dan masyarakat. Seperti contoh iklan rokok dan alkohol yang didesain sedemikian rupa, sehingga kelihatannya bahwa merokok dan meminum alkohol menjadi lambang kejantanan. Dengan demikian Byron selalu menghubungkan antara apa yang diimaninya dengan apa yang dikerjakannya, setia dalam jaran agama yang dianutnya serta membuat keputusan etis dalam pekerjaan dan kepemimpinannya yang sesuai dengan imannya. Barb Daniels Barb berusia 36 tahun sebagai hasil perkawinan campuran Afrika-Amerika. Dia bekerja sebagai sales dari sebuah perusahaan besi terbesar di Amerika. Barb seorang perempuan pertama yang bekerja di perusaan tersebut yang memiliki posisi yang tinggi, dimana sebelumnya perusaan ini sangat membeda-bedakan ras dan sex, selalu mengutamakan kulit putih. Melalui perusahaan dimana dia bekerja bisa mempengaruhi pemerintah Amerika untuk memberikan persamaan kesempatan dan hak bagi siapa saja dalam dunia pekerjaan. Barb adalah seorang anggota jemaat yang aktif di gereja Babtis Ebenezer, sebuah gereja yang anggota-anggotanya bercampur baur antara orang Afrika dan Amerika. Semenjak masa kecilnya dia aktif ke gereja dan masa dewasanya sering berkotbah, pemain musik dan membantu pelayanan lainnya pada hari minggu. Baginya hari minggu merupakan fullday untuk beribadah kepada Tuhan melalui gereja. Komunitas gereja memiliki motivasi yang kuat untuk menolak semua bentuk rasisme dan perbedaan sex dalam semua bidang aktivitas pekerjaan. Kepemimpinannya juga sangat dipengaruhi oleh paham persamaan hak. 8 tahun yang lalu Barb pernah tidak diperbolehkan oleh supervisornya berhubungan dengan pelanggan yang berkulit putih, karena menurut supervisornya pelanggan tersebut tidak bersedia berhubungan bisnis dengan orang yang berkulit hitam. Dan juga supervisornya pernah melakukan pelecehan seksual terhadapnya, yang membuat dia marah hingga membawa kasus ini ke pengadilan. Di pengadilan ternyata dia memenangkan perkara ini. Melalui pergerakan dan idiologi yang dia perjuangkan dalam hubungan iman dan pekerjaan dan kepemimpinan membuat semakin banyak orang tertarik bergabung dengannya. Perusahaan malah semakin berkembang dan menghormatinya. Barb mengaku bahwa dia menemukan dan merasa nyaman dengan iman bahwa Allah mengasihi semua orang, yang mendengar jeritan orang-orang tertindas, memperhatikan penderitaan orang-orang lemah karena ketidakadilan. Imannya mengajarinya bahwa dia dipanggil untuk mengerti ketidakadilan sebagai kejahatan dan bekerja sedapat mungkin untuk membuat dunia ini lebih baik lagi. Imannya menolong dia memperjelas dan membuang segala jenis diskriminasi. Kelima orang ini memperlihatkan karakter beberapa cara bagaimana orang Kristen menghubungkan imannya dengan dunia pekerjaan atau kepemimpinannya baik kaum awam maupun para pelayan gerejawi (na martohonan). Mereka semua berusaha membuat hidup ini menjadi unik dan bermakna. Barangkali anda bisa melihat beberapa pengalaman dan pemahaman mereka tentang topik yang sedang kita bahas ini dan melihat kepada diri kita sendiri. Etos kerja bagi pemuda yang soleh dan boleh. Hidup hanya menyediakan dua pilihan : mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh “5-ng”: ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel. Punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, Anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya. Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot. “Itu lumrah,” kata Jansen Sinamo, ahli pengembangan sumber daya manusia dari Institut Darma Mahardika, Jakarta. Meski lumrah, “impotensi” kerja harus diobati. Cara terbaik untuk mengatasinya, menurut Jansen, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai “Delapan Etos Kerja Profesional”. Sejak 1999, ia aktif mengampanyekan gagasan itu lewat berbagai pelatihan yang ia lakukan Etos pertama : kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeserpun. Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan. Etos kedua: kerja adalah amanah. Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya. Etos ketiga: kerja adalah panggilan. Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “ I’m doing my best! ” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya. Etos keempat: kerja adalah aktualisasi. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan. Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa pede ketika berjumpa koleganya. “Perkenalkan, nama saya Miftah, dari Bank Kemilau.” Keren ‘kan? Etos kelima: kerja itu ibadah. Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini: Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Sangkin tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental. Etos keenam: kerja adalah seni. Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya. “Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful. Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan. Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia. Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan. Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama. Pada pertengahan abad ke - 20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal. Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya. “Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik,” kata Jansen. Dalam bukunya Ethos 21, ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin ( rahmat bagi sesama). Pilih cinta atau kecewa Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan. “Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu ‘kan hanya untuk nyari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi,” katanya. Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 - 40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. “Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itu ‘kan waktu yang sangat lama,” tambahnya. Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan. Dengan mempedomani beberapa pemikiran orang percaya yang sukses di atas dan juga etos kerja, kita harapkan Pemuda GKPA menjadi pemuda yang soleh dan boleh atau pemuda yang berkarir dan beriman atau pemuda yang berprofesi dan berpropetis. Sumber-sumber utama : 1. David A.Krueger, Keeping Faith at Work, The Cristian in the workplace (Nashville:Abingdon,1994) 2. http//www//etoskerja.com. JANSEN H.SINAMO SELAMAT BERSEMINAR : PEMUDA ADALAH MASA KINI DAN MASA DEPAN GEREJA, MASYARAKAT DAN BANGSA

No comments:

Post a Comment

Diharap kritik dan saran yang membangun ya guys