IKLAN JILKER PLISS DI KLIK YAH

06 April 2012

KESETARAAN GENDER DALAM PENGEMBANGAN JEMAAT GKPA DAN GEREJA GEREJA LAINNYA



            Pendahuluan

      Sadar atau tidak sadar kita harus mengakui peran serta laki-laki dan perempuan dalam memperjuangkan berdirinya GKPA  dari awal hingga sekarang ini sangatlah besar, mereka sebagai pelaku, pemberi aspirasi yang mampu memanfaatkan waktu hingga kita masih dapat tegak berdiri saat sekarang ini. Namun kita juga harus menyadari kenyataan bahwa dibeberapa aspek pengembangan jemaat, perempuan kurang dapat berperan dengan aktif, bisa saja hal ini diakibatkan posisi yang kurang menguntungkan dibanding dengan laki-laki, seperti peluang dan kesempatan yang masih terbatas, atau tingkat kesehatan dan pendidikan yang masih rendah.
Gereja telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan sumber daya baik laki-laki maupun perempuan namun hasilnya belum dapat memberikan manfaat yang setara antara perempuan dan laki-laki. Kita masih menemukan kesenjangan yang diakibatkan tata nilai social budaya kita yang  pada umumnya selalu mengutamakan laki-laki ketimbang perempuan. Penafsiran teks-teks Alkitab yang kurang konprihensif atau cendrung tekstual bukan kontekstual. Kemampuan dan kemauan serta kesiapan perempuan itu sendiri kurang dapat merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen. Pola pikir konfensional yang bangga hanya sebagi ibu rumah tangga saja, yang mempercayakan semua urusan mencari rejeki, berkarier merupakan tugas laki-laki. Semuanya ini mengakibatkan perempuan dan laki-laki belum dapat menjadi mitra yang sejajar dalam mengatasi berbagai bentuk persoalan ditengah-tengah jemaat.

  1. Arti kesetaraan gender
Gender adalah perbedaan fungsi peran social yang dibangun oleh masyarakat yang berbeda dengan seks atau lebih kita kenal dengan jenis kelamin sebagai kodrat yang diberikan Allah yang tidak dapat dirubah oleh manusia.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan yang diberikan oleh Tuhan, ia berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dengan tata nilai yang sudah ditentukan oleh masyarakat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh social budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan dapat berbeda di tempat yang berbeda pula. Lain halnya  dengan seks yang tidak dapat berubah tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa disegala tempat karena dia merupakan anugrah dari Tuhan.
Kesetaraan gender (equality) merupakan kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan yang dapat dicapai dengan kesadaran akan keadailan gender (equality) dimana antara keadilan dan kesetaraan merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Keadilan dalam relasi dan peran gender tidak dengan begitu saja menghasilkan pengakuan akan kesetaraan, karena itu keadilan gender harus disertai dengan pengakuan bahwa ‘hak perempuan adalah hak kemanusiaan” atau “hak laki-laki adalah kemanusiaan”, keduanya harus saling berhubungan.

Kesetaraan gender merupakan satu kondisi dan perlakuan yang adil tanpa membeda-bedakan dalam hubungan peran, fungsi, kedudukan, hak, tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan, dengan kata lain laki-laki dan perempuan menikmati status yang sama dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak-haknya dan kemampuanya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan spiritual,politik,ekonomi di keluarga gereja dan Negara. Tentu saja  pemahaman ini masih sulit kita temukan ditengah-tengah keluarga yang masih membungkus diri dengan pemahaman social budaya bahwa laki-laki lebih tinggi statusnya dari perempuan, melahirkan anak laki-laki jauh lebih beruntung dari pada melahirkan anak perempuan, seorang istri harus menghormati sekaligus tunduk kepada suaminya. Pemahaman ini menjadi kuat saat dikukuhkan gereja dan yang disalah tafsirkan dan disalah  fahami oleh masyarakat. Dengan demikian hubungan laki-laki dengan perempuan sebagai hubungan yang hierarkhis dianggab masyarakat sebagai hubungan yang benar.
Dengan adanya kesadaran pemahaman akan konsep yang gender mengacu kepada peran-peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang ditentukan oleh masyarakat yang memiliki harapan-harapan tentang sikap, prilaku dari perempuan dan laki-laki yang disesuaikan dengan peran dan tanggungjawabnya diharapkan ada perubahan paradigma masyrakat tentang peranan perempuan dan laki-laki dalam setiap lapangan pekerjaan.
3.Kesetaraan gender dalam Alkitab
● Di dalam Alikitab Perjanjian Lama ditemukan status dan peran perempuan yang merupakan refleksi dari situasi dan kondisi masyarakat patriakhal yang memandang rendah status perempuan. Namun dalam bagian lainnya ada teks-teks yang tidak begitu dipengaruhi budaya patriakal tersebut sehingga dapat kita temukan pesan kesetaraan gender di dalamnya., yaitu pada kitab Kejadian 1:26-30 dan Kejadian 2:18-24 serta di kitab Amsal. Dalam teks ini dirancanag untuk memperlihatkan status perempuan yang direncanakan Allah pada mulanya secara Ideal. Gambaran yang ideal memperlihatkan bahwa perempuan berstatus sederajat dengan laki-laki, keduanya merupakan mitra kerja yang saling ketergantungan satu sama lain dan yang lebih penting lagi keduanya diciptakan seturut “gambar dan rupa Allah”, sehingga keduanya diberi kesempatan, kewajiban, kebebasan dan hak yang sama untuk menyelidiki, mengerti, mengolah, memanfaatkan seluruh ciptaan. Mereka juga bersama-sama diberi kesempatan untuk mengembangkan segala jenis ilmu pengetahuan dan tehnologi untuk mencari kesejahtraan manusia (Kej 1:26-28), tentu keduanya juga diberi kesempatan yang sama untuk menjadi pendeta, penatua, supir, pejabat diperintahan dan berkarir di segala bidang.
Libih rinci lagi kita dapat melihat teks Amsal 31:10-31, dilaporkan bahwa perempuan yang bijaksana memperlihatkan identitasnya bukan hanya sebagai istri yang setia kepada suaminya tetapi sekaligus sebagai kepala yang bijaksana bagi anggota keluarga yang dipimpinnya. Dia bertanggung jawab meningkatkan kesejahtraan ekonomi dan kenyamanan bagi seluruh anggota keluarganya serta mampu memperjuangkan kesejahtraan bagi anggota masyarakat disekitarnya. Selanjutnya dalam Kej 2:16-22, dikatakan bahwa perempuan adalah ‘penolong’ bagi laki-laki. Dalam bahasa Ibrani istilah penolong dipakai dengan kata ‘ezer’ yang menunjukkan status penolong itu bukanlah lebih rendah dan lemah dari yang ditolong tetapi  kata ini dipakai kepada pribadi yang yang berkharakteristik Ilahi yang disiapkan menjadi saluran keselamatan bahkan kehidupan bagi yang ditolong..
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Dia tidak memberikan vonis bahwa kedudukan perempuan itu lebih rendah daripada kedudukan laki- laki. Dalam masa Perjanjian Lama, Allah terus-menerus menjunjung tinggi derajat kaum perempuan setara dengan kaum pria. Dalam hukum Taurat, seorang ibu harus dihormati, ditaati, dan ditakuti. Ia memberikan nama kepada anak-anak dan mengajar mereka. Persembahan yang sama diberikan untuk penyucian apakah yang baru lahir itu anak laki-laki atau perempuan. Perempuan menghadiri kegiatan-kegiatan keagamaan dan mempersembahkan korban sama dengan kaum pria. 
Para perempuan dalam Perjanjian Lama telah melakukan tindakan dan peranan secara aktif dan kreatif dalam situasi dan kondisi mereka masing-masing, seperti Sara, Hagar, Miriam, Ester, Debora dan banyak perempuan lainnya yang diapakai Tuhan sebagai alat kemuliaanNya.

● Dalam Perjanjian Baru kita melihat kesetaraan gender merupakan konsep yang ideal melaui pengajaran Yesus. Dalam konsep ini kita temukan bahwa ukuran penentuan status seseorang sebagai anggota kerajaan Allah bukan lagi berdasarkan jenis kelamin tetapi tergantung sejauh mana ketaatannya melakukan kehendak Allah (Mark 3:31:35). Dengan jelas juga dikatakan bahwa di dalam Dia tidak ada lagi perbedaan status yang dikarenakan perbedaan jenis kelamin (Gal 3:27-28). Dalam Perjanjian Baru Yesus sering merefleksikan sikap dan pandanganNya yang begitu tinggi terhadap perempuan bd Mat 5:25-34; 7:24-30; Luk 4:23-30; Yoh 4; Kis 1:12-14; 2:1-4. Cerita perempuan yang bekerja sebagai pelayan yang bermitra dengan laki-laki bd Mark 1:29-31; Luk1:26-56 ; Yoh 11:1-46, Kis 12:12; Rom 16:1-16.
      Dalam Perjanjian Baru, perkembagan jemaat mula-mula di jaman Para rasul tidak dapat dipisahkan dari peranan para kaum perempuan yang menjadi teman sepekerjaan bagi Paulus yang mendukung pelayanannya secara moril dan materiil. Dalam Injil dicatat juga peran beberapa perempuan misalnya seorang perempuan Kanaan yang imamnya diakui Tuhan Yesus (Mat 15:21-28 Mark 7:24:30), Seorang perempuan yang mengurapi kaki Tuhan Yesus (Mat 26;6-13; Yoh 12:1-80, Seorang janda yang memberikan seluruh miliknya untuk dipersembahkan (Mark 12:41-44; Luk 21:1-4). Dalam setiap pengajarn yang dilakukan Tuhan Yesus, para perempuan mendengarkannya dengan tekun. Dalam banyak kisah pengajaran Yesus selalu disebut ada perempuan dan anak-anak diantara laki-laki, walaupun dalam kisah-kisah itu diberitahukan bahwa perempuan hanya sebagai pendengar setiap kali Yesus mengajar, namun hal ini telah menunjukkan begitu besar perannan mereka dalam mengikuti Yesus, mendengarkan ajaranNya, hal ini merupakan respons positif dari pertumbuhan iman perempuan sementara dilain fihak mereka masih harus mengurus keluarga mereka masing-masing. Yang lainnya lagi adalah peranan perempuan-perempuan seperti Maria Magdalena, Susana, dan Yohana dalam pelayanan Tuhan Yesus.
Kita kagum dengan tindakan mereka yang  begitu setia melayani Tuhan Yesus, memberikan dukungan keuangan dan sebagainya. Bahkan yang dicatat dalam Alkitab, waktu Tuhan Yesus di kayu salib yang bersama dengan-Nya adalah para perempuan tersebut. Yang pertama menjenguk kubur Tuhan Yesus juga adalah mereka para perempuan ini. Dan orang pertama yang melihat Tuhan Yesus bangkit adalah Maria Magdalena dan para perempuan lainnya. Satu hal yang sangat penting lagi adalah bahwa Allah memakai rahim seorang perempuan untuk menyatakan kemuliaanNya melalui kelahiran Kristus. Di sini menunjukkan bahwa Tuhan begitu  memperhatikan perempuan secara khusus yang dianggap sebagai kaum  lemah, yang dianggap tidak ada apa-apanya, khususnya pada zaman itu. Mereka diangkat ke posisi yang begitu tinggi, begitu dihargai, begitu dikenang oleh Tuhan sendiri. Mata dunia seakan terbuka dengan diberdayakannya para perempuan dalam penyataan kasih Allah akan dunia ini.

  1. Kesetaraan gender dalam Pengembangan jemaat GKPA
Setelah melihat uraian di atas kita dapat menyadari bahwa dalam mengembangkan jemaat, sangat tergantung sejauh mana terjadi  kerja sama yang baik, yang saling mendukung antara perempuan dan laki-laki. Keduanya hendaknya  menyadari bahwa mereka adalah sebagai mitra kerja yang memiliki tugas panggilan bersama sebagai pribadi ciptaan Tuhan. Status perempaun sebagai mitra laki-laki haruslah diperjuangkan sebagai pola kesejajaran yang berlaku dalam segala tempat dan jajaran dan yang harus diperjuangkan secara terus-menerus.
Jemaat GKPA sebagai salah satu gereja yang berlatar belakang kesukuan adalah jemaat yang dekat dengan budaya Batak Angkola yang patriakhal dimana kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Oleh karena itu menjadi menarik untuk diteliti bagaimana penerimaan jemaat terhadap pesan di Alkitab tentang kesetaraan gender. Ada dua hal yang tarik menarik dalam diri jemaat sebagai masyarakat awam yaitu: kebenaran Alkitab diperhadapkan dengan kebenaran budaya Batak Angkola yang patriakhal. Di satu sisi jemaat percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan, sumber kebenaran, tapi di sisi yang lain budaya adalah bagian dari kehidupan yang tidak terpisahkan, sehingga di gerejapun kita tetap membawa instrument budaya sehingga terkadang sulit dibedakan mana yang budaya dan mana yang kekristenan.
Pengalaman saya sebagai pendeta            yang sudah melayani selama lebih kurang 18 tahun baik di jemaat bona bulu dan juga perkotaan,  bahwa jemaat GKPA  yg berada di luar daerah Angkola yang mengetahui sedikit budaya Angkola, serta berpendidikan tinggi telah dapat menerima kesetaraan gender sebagai kesamaan fungsi, tugas dan peran antara laki-laki dan perempuan. Tetapi jemaat GKPA yg      di luar daerah Angkola yang cukup mengetahui budaya Angkola dan berpendidikan rendah memaknai kesetaraan gender yang tidak seimbang, yaitu perempuan tetap memegang peran utama dalam urusan rumah tangga (domestiksasi). Sedangkan jemaat GKPA yang berada di daerah Angkola masih tetap mempertahankan budaya dengan nilai-nilai patriakhal, yaitu kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan karena laki-laki adalah penerus marga.


Dalam sejarah perkembangan jemaat GKPA yang berdiri secara resmi pada tahun1975 hingga sekarang sudah memiliki banyak perkembangan, dari awalnya hanya 22 jemaat hingga kini sudah ada 169 parlagutan  yang tediri dari 28.509 jiwa. Pertama sekali hanya ada 9 orang pendeta dan sekarang sudah ada 53 orang pendeta yang masih aktif melayani di jemaat maupun di lembaga, tentu saja perkembangan ini tidaklah tercapai kalau hanya laki-laki yang mengerjakannya tetapi ada banyak perempuan yang bekerja dibelakang mereka yang berperan secara langsung ataupun tak langsung. Para perempuan juga secara aktif dan kreatif memberikan ide-ide, semangat dan dorongan dalam  penyebaran Injil di luat Angkola.
Dengan usia GKPA yang 36 tahun di tahun 2011 ini kita perlu pertanyakan sejauhmana keberhasilan itu telah menyentuh kepada kesetaaan gender.
Meski banyak perempuan yang sudah berperan seperti yang saya katakan di atas tadi tetapi bila dibandingkan dengan laki-laki, kita masih jauh tertinggal. Tenaga pendeta yang terdiri dari 53 orang hanya ada 8 orang pendeta perempuan dan hanya 4 orang yang berada di garis structural. GKPA hanya memiliki 2 tenaga Biblevrow dan untuk tenaga pelayan sintua di jemaat masih lebih banyak laki-laki bahkan dalam struktur Majelis Pusat yang terdiri dari 23 anggota hanya ada 3 perempuan, sungguh sangat ironis mengingat jemaat yang paling banyak datang beribadah ke gereja adalah para perempuan. Dengan melihat keadaan yang tidak sebanding  antara laki-laki dan perempuan dalam tingkat pengambilan keputusan,  merupakan indicator bagi kita bahwa suara perempuan belum terwakilkan dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat jemaat sampai ke tingkat pusat. Untuk hal ini sepertinya perlu dikaji ulang sejauhmana kemampuan bermitra antara laki-laki dan perempuan. Ada kalanya laki-laki tidak memberikan kesempatan kepada perempuan karena anggapan bahwa menjadi pemimpin tidak layak bagi perempuan sepanjang masih ada laki-laki. Dan ada juga perempuan yang selalu membatasi dirinya dengan bingkai budaya yang mengatakan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang cukup mengurus rumah tangga saja.

● Beberapa hambatan-hambatan  bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam gereja.
▪Kurangnya waktu, karena beban kerja yang terlalu berat. Ada kalanya      perempuan yang bekerja menopang ekonomi keluarga juga masih harus bekerja mengurusi kebutuhan rumah tangga.
▪Kurangnya pengalaman, akibatnya kurang kreatif dalam memunculkan ide-ide baru dalam pengembangan pelayanan.
▪Kurang percaya diri, sehingga tidak mau tampil dan selalu takut salah.
▪Terlalu hormat kepada suami sehingga tidak mau tampil karena dianggap      melangkahi hak-hak suaminya.
▪Kurangnya pengetahuan atau ketrampilan.
▪Salah mengartikan Firman Tuhan tentang hubungan laki-laki dan perempuan.
Dengan melihat hambatan-hambatan ini maka kita perlu mencari jalan keluar dari persoalan tersebut misalnya:
            ▪Mengadakan pelatihan kepada laki-laki dan perempuan untuk menumbuh
              Kembangkan kesadaran sebagai mita kerja yang dapat beker sama di rumah
              Dan di luar rumah. Perempuan menyadari pentingnya peranan laki-laki dan laki-
              Laki memyadri pentingnya peranan perempuan.
            ▪Memberi kesempatan bagi perempuan untuk bekerja diberbagai bidang yang
              Tersedia di gereja.
▪Pelatihan cara mengembangkan rasa percaya diri dan ketrampilan-ketrampilan
  Lainnya.
▪Memberi pengajaran yang benar tentang Firman Tuhan dengan tidak bias gender.
  Penjemaatan membaca Alkitab dengan mata baru. 
 Dalam tugas pelayanannya GKPA harus bergerak maju dengan memakai segala potensi yang dimilikinya dengan tidak bias gender. sesungguhnya, GKPA , dalam upaya pengembangannya, bukan melulu terhambat oleh karena tiadanya dana dan sarana, ataupun kekurangan tenaga, melainkan belum dikelolanya penatalayanan dan ketrampilan serta kreativitas pendayagunaan potensi jemaat setempat. Usaha pembinaan warga gereja  demi tumbuhnya kesadaran dan tanggung jawab demi partisipasi mereka yang maksimal perlu dikaji secara serius.
Peningkatan sumber manusia, baik laki-laki maupun perempuan kiranya terus diupayakan, sehingga  pengembangan jemaat yang kita maksud bukan hanya secara kwantitas tetapi pengembangan jemaat secara kwalitas.

  1. Penutup
Pengembangan jemaat yang berbasiskan kesetaraan gender bukanlah pekerjaan mudah, pertama kita harus berjuang untuk mencapai kesetaraan gender, termasuk kebebasan perempuan untuk mengelola kehidupannya baik di dalam dan di luar rumah, hal ini butuh dukungan dari semua fihak, karena kesetaraan gender merupakan salah satu strategi pengembangan jemaat. Dibutuhkan juga perubahan strategi mendasar dalam penyampaian dan pemahaman baru akan Firman Tuhan dan budaya Angkola agar dapat menciptakan tatanan masyarakat yang adil bagi perempuan dan laki-laki.



Oleh: Pdt.Nursini Sihombing

No comments:

Post a Comment

Diharap kritik dan saran yang membangun ya guys