Pendahuluan
Sadar atau
tidak sadar kita harus mengakui peran serta laki-laki dan perempuan dalam
memperjuangkan berdirinya GKPA dari awal
hingga sekarang ini sangatlah besar, mereka sebagai pelaku, pemberi aspirasi
yang mampu memanfaatkan waktu hingga kita masih dapat tegak berdiri saat
sekarang ini. Namun kita juga harus menyadari kenyataan bahwa dibeberapa aspek
pengembangan jemaat, perempuan kurang dapat berperan dengan aktif, bisa saja
hal ini diakibatkan posisi yang kurang menguntungkan dibanding dengan
laki-laki, seperti peluang dan kesempatan yang masih terbatas, atau tingkat
kesehatan dan pendidikan yang masih rendah.
Gereja telah
melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan sumber daya baik laki-laki maupun
perempuan namun hasilnya belum dapat memberikan manfaat yang setara antara
perempuan dan laki-laki. Kita masih menemukan kesenjangan yang diakibatkan tata
nilai social budaya kita yang pada
umumnya selalu mengutamakan laki-laki ketimbang perempuan. Penafsiran teks-teks
Alkitab yang kurang konprihensif atau cendrung tekstual bukan kontekstual.
Kemampuan dan kemauan serta kesiapan perempuan itu sendiri kurang dapat merubah
keadaan secara konsisten dan konsekwen. Pola pikir konfensional yang bangga
hanya sebagi ibu rumah tangga saja, yang mempercayakan semua urusan mencari
rejeki, berkarier merupakan tugas laki-laki. Semuanya ini mengakibatkan
perempuan dan laki-laki belum dapat menjadi mitra yang sejajar dalam mengatasi
berbagai bentuk persoalan ditengah-tengah jemaat.
- Arti kesetaraan gender
Gender adalah
perbedaan fungsi peran social yang dibangun oleh masyarakat yang berbeda dengan
seks atau lebih kita kenal dengan jenis kelamin sebagai kodrat yang diberikan
Allah yang tidak dapat dirubah oleh manusia.
Gender
bukanlah kodrat ataupun ketentuan yang diberikan oleh Tuhan, ia berkaitan
dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan
dengan tata nilai yang sudah ditentukan oleh masyarakat setempat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa gender adalah perbedaan peran, fungsi,
tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh social budaya
dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan dapat berbeda di tempat
yang berbeda pula. Lain halnya dengan
seks yang tidak dapat berubah tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa
disegala tempat karena dia merupakan anugrah dari Tuhan.
Kesetaraan
gender (equality) merupakan
kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan yang dapat dicapai dengan
kesadaran akan keadailan gender (equality)
dimana antara keadilan dan kesetaraan merupakan dua hal yang tidak dapat
terpisahkan. Keadilan dalam relasi dan peran gender tidak dengan begitu saja
menghasilkan pengakuan akan kesetaraan, karena itu keadilan gender harus
disertai dengan pengakuan bahwa ‘hak perempuan adalah hak kemanusiaan” atau
“hak laki-laki adalah kemanusiaan”, keduanya harus saling berhubungan.
Kesetaraan
gender merupakan satu kondisi dan perlakuan yang adil tanpa membeda-bedakan
dalam hubungan peran, fungsi, kedudukan, hak, tanggungjawab antara laki-laki
dan perempuan, dengan kata lain laki-laki dan perempuan menikmati status yang
sama dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak-haknya dan
kemampuanya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan
spiritual,politik,ekonomi di keluarga gereja dan Negara. Tentu saja pemahaman ini masih sulit kita temukan
ditengah-tengah keluarga yang masih membungkus diri dengan pemahaman social
budaya bahwa laki-laki lebih tinggi statusnya dari perempuan, melahirkan anak
laki-laki jauh lebih beruntung dari pada melahirkan anak perempuan, seorang
istri harus menghormati sekaligus tunduk kepada suaminya. Pemahaman ini menjadi
kuat saat dikukuhkan gereja dan yang disalah tafsirkan dan disalah fahami oleh masyarakat. Dengan demikian
hubungan laki-laki dengan perempuan sebagai hubungan yang hierarkhis dianggab
masyarakat sebagai hubungan yang benar.
Dengan adanya
kesadaran pemahaman akan konsep yang gender mengacu kepada peran-peran dan
tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang ditentukan oleh masyarakat
yang memiliki harapan-harapan tentang sikap, prilaku dari perempuan dan
laki-laki yang disesuaikan dengan peran dan tanggungjawabnya diharapkan ada
perubahan paradigma masyrakat tentang peranan perempuan dan laki-laki dalam
setiap lapangan pekerjaan.
3.Kesetaraan gender dalam Alkitab
● Di dalam
Alikitab Perjanjian Lama ditemukan status dan peran perempuan yang merupakan
refleksi dari situasi dan kondisi masyarakat patriakhal yang memandang rendah
status perempuan. Namun dalam bagian lainnya ada teks-teks yang tidak begitu
dipengaruhi budaya patriakal tersebut sehingga dapat kita temukan pesan
kesetaraan gender di dalamnya., yaitu pada kitab Kejadian 1:26-30 dan Kejadian
2:18-24 serta di kitab Amsal. Dalam teks ini dirancanag untuk memperlihatkan
status perempuan yang direncanakan Allah pada mulanya secara Ideal. Gambaran
yang ideal memperlihatkan bahwa perempuan berstatus sederajat dengan laki-laki,
keduanya merupakan mitra kerja yang saling ketergantungan satu sama lain dan
yang lebih penting lagi keduanya diciptakan seturut “gambar dan rupa Allah”, sehingga keduanya diberi kesempatan,
kewajiban, kebebasan dan hak yang sama untuk menyelidiki, mengerti, mengolah,
memanfaatkan seluruh ciptaan. Mereka juga bersama-sama diberi kesempatan untuk
mengembangkan segala jenis ilmu pengetahuan dan tehnologi untuk mencari
kesejahtraan manusia (Kej 1:26-28), tentu keduanya juga diberi kesempatan yang
sama untuk menjadi pendeta, penatua, supir, pejabat diperintahan dan berkarir
di segala bidang.
Libih rinci
lagi kita dapat melihat teks Amsal 31:10-31, dilaporkan bahwa perempuan yang
bijaksana memperlihatkan identitasnya bukan hanya sebagai istri yang setia
kepada suaminya tetapi sekaligus sebagai kepala yang bijaksana bagi anggota
keluarga yang dipimpinnya. Dia bertanggung jawab meningkatkan kesejahtraan
ekonomi dan kenyamanan bagi seluruh anggota keluarganya serta mampu
memperjuangkan kesejahtraan bagi anggota masyarakat disekitarnya. Selanjutnya
dalam Kej 2:16-22, dikatakan bahwa perempuan adalah ‘penolong’ bagi laki-laki.
Dalam bahasa Ibrani istilah penolong dipakai dengan kata ‘ezer’ yang menunjukkan status penolong itu bukanlah lebih
rendah dan lemah dari yang ditolong tetapi
kata ini dipakai kepada pribadi yang yang berkharakteristik Ilahi yang
disiapkan menjadi saluran keselamatan bahkan kehidupan bagi yang ditolong..
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Dia tidak memberikan vonis
bahwa kedudukan perempuan itu lebih rendah daripada kedudukan laki- laki. Dalam
masa Perjanjian Lama, Allah terus-menerus menjunjung tinggi derajat kaum
perempuan setara dengan kaum pria. Dalam hukum Taurat, seorang ibu harus
dihormati, ditaati, dan ditakuti. Ia memberikan nama kepada anak-anak dan
mengajar mereka. Persembahan yang sama diberikan untuk penyucian apakah yang
baru lahir itu anak laki-laki atau perempuan. Perempuan menghadiri
kegiatan-kegiatan keagamaan dan mempersembahkan korban sama dengan kaum
pria.
Para perempuan
dalam Perjanjian Lama telah melakukan tindakan dan peranan secara aktif dan
kreatif dalam situasi dan kondisi mereka masing-masing, seperti Sara, Hagar,
Miriam, Ester, Debora dan banyak perempuan lainnya yang diapakai Tuhan sebagai
alat kemuliaanNya.
● Dalam
Perjanjian Baru kita melihat kesetaraan gender merupakan konsep yang ideal
melaui pengajaran Yesus. Dalam konsep ini kita temukan bahwa ukuran penentuan
status seseorang sebagai anggota kerajaan Allah bukan lagi berdasarkan jenis
kelamin tetapi tergantung sejauh mana ketaatannya melakukan kehendak Allah
(Mark 3:31:35). Dengan jelas juga dikatakan bahwa di dalam Dia tidak ada lagi
perbedaan status yang dikarenakan perbedaan jenis kelamin (Gal 3:27-28). Dalam
Perjanjian Baru Yesus sering merefleksikan sikap dan pandanganNya yang begitu
tinggi terhadap perempuan bd Mat 5:25-34; 7:24-30; Luk 4:23-30; Yoh 4; Kis
1:12-14; 2:1-4. Cerita perempuan yang bekerja sebagai pelayan yang bermitra
dengan laki-laki bd Mark 1:29-31; Luk1:26-56 ; Yoh 11:1-46, Kis 12:12; Rom
16:1-16.
Dalam Perjanjian Baru, perkembagan jemaat
mula-mula di jaman Para rasul tidak dapat
dipisahkan dari peranan para kaum perempuan yang menjadi teman sepekerjaan bagi
Paulus yang mendukung pelayanannya secara moril dan materiil. Dalam Injil
dicatat juga peran beberapa perempuan misalnya seorang perempuan Kanaan yang
imamnya diakui Tuhan Yesus (Mat 15:21-28 Mark 7:24:30), Seorang perempuan yang
mengurapi kaki Tuhan Yesus (Mat 26;6-13; Yoh 12:1-80, Seorang janda yang
memberikan seluruh miliknya untuk dipersembahkan (Mark 12:41-44; Luk 21:1-4).
Dalam setiap pengajarn yang dilakukan Tuhan Yesus, para perempuan
mendengarkannya dengan tekun. Dalam banyak kisah pengajaran Yesus selalu
disebut ada perempuan dan anak-anak diantara laki-laki, walaupun dalam
kisah-kisah itu diberitahukan bahwa perempuan hanya sebagai pendengar setiap
kali Yesus mengajar, namun hal ini telah menunjukkan begitu besar perannan
mereka dalam mengikuti Yesus, mendengarkan ajaranNya, hal ini merupakan respons
positif dari pertumbuhan iman perempuan sementara dilain fihak mereka masih
harus mengurus keluarga mereka masing-masing. Yang lainnya lagi adalah peranan
perempuan-perempuan seperti Maria Magdalena, Susana, dan Yohana dalam pelayanan
Tuhan Yesus.
Kita kagum dengan tindakan mereka yang
begitu setia melayani Tuhan Yesus, memberikan dukungan keuangan dan
sebagainya. Bahkan yang dicatat dalam Alkitab, waktu Tuhan Yesus di kayu salib
yang bersama dengan-Nya adalah para perempuan tersebut. Yang pertama menjenguk
kubur Tuhan Yesus juga adalah mereka para perempuan ini. Dan orang pertama yang
melihat Tuhan Yesus bangkit adalah Maria Magdalena dan para perempuan lainnya.
Satu hal yang sangat penting lagi adalah bahwa Allah memakai rahim seorang
perempuan untuk menyatakan kemuliaanNya melalui kelahiran Kristus. Di sini
menunjukkan bahwa Tuhan begitu memperhatikan perempuan secara khusus yang
dianggap sebagai kaum lemah, yang
dianggap tidak ada apa-apanya, khususnya pada zaman itu. Mereka diangkat ke
posisi yang begitu tinggi, begitu dihargai, begitu dikenang oleh Tuhan sendiri.
Mata dunia seakan terbuka dengan diberdayakannya para perempuan dalam penyataan
kasih Allah akan dunia ini.
- Kesetaraan gender dalam Pengembangan jemaat GKPA
Setelah
melihat uraian di atas kita dapat menyadari bahwa dalam mengembangkan jemaat,
sangat tergantung sejauh mana terjadi kerja
sama yang baik, yang saling mendukung antara perempuan dan laki-laki. Keduanya
hendaknya menyadari bahwa mereka adalah sebagai
mitra kerja yang memiliki tugas panggilan bersama sebagai pribadi ciptaan
Tuhan. Status perempaun sebagai mitra laki-laki haruslah diperjuangkan sebagai
pola kesejajaran yang berlaku dalam segala tempat dan jajaran dan yang harus
diperjuangkan secara terus-menerus.
Jemaat GKPA sebagai salah satu gereja yang berlatar belakang kesukuan adalah
jemaat yang dekat dengan budaya Batak Angkola yang patriakhal dimana kedudukan
laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Oleh karena itu menjadi menarik untuk
diteliti bagaimana penerimaan jemaat terhadap pesan di Alkitab tentang
kesetaraan gender. Ada
dua hal yang tarik menarik dalam diri jemaat sebagai masyarakat awam yaitu:
kebenaran Alkitab diperhadapkan dengan kebenaran budaya Batak Angkola yang
patriakhal. Di satu sisi jemaat percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan,
sumber kebenaran, tapi di sisi yang lain budaya adalah bagian dari kehidupan
yang tidak terpisahkan, sehingga di gerejapun kita tetap membawa instrument
budaya sehingga terkadang sulit dibedakan mana yang budaya dan mana yang
kekristenan.
Pengalaman
saya sebagai pendeta yang sudah
melayani selama lebih kurang 18 tahun baik di jemaat bona bulu dan juga perkotaan,
bahwa jemaat GKPA yg berada di luar daerah Angkola yang
mengetahui sedikit budaya Angkola, serta berpendidikan tinggi telah dapat menerima
kesetaraan gender sebagai kesamaan fungsi, tugas dan peran antara laki-laki dan
perempuan. Tetapi jemaat GKPA yg di luar daerah Angkola yang cukup mengetahui
budaya Angkola dan berpendidikan rendah memaknai kesetaraan gender yang tidak
seimbang, yaitu perempuan tetap memegang peran utama dalam urusan rumah tangga
(domestiksasi). Sedangkan jemaat GKPA yang berada di daerah Angkola masih tetap
mempertahankan budaya dengan nilai-nilai patriakhal, yaitu kedudukan laki-laki
lebih tinggi dari perempuan karena laki-laki adalah penerus marga.
Dalam sejarah
perkembangan jemaat GKPA yang berdiri secara resmi pada tahun1975 hingga
sekarang sudah memiliki banyak perkembangan, dari awalnya hanya 22 jemaat
hingga kini sudah ada 169 parlagutan
yang tediri dari 28.509 jiwa. Pertama sekali hanya ada 9 orang pendeta
dan sekarang sudah ada 53 orang pendeta yang masih aktif melayani di jemaat
maupun di lembaga, tentu saja perkembangan ini tidaklah tercapai kalau hanya
laki-laki yang mengerjakannya tetapi ada banyak perempuan yang bekerja
dibelakang mereka yang berperan secara langsung ataupun tak langsung. Para perempuan juga secara aktif dan kreatif memberikan ide-ide,
semangat dan dorongan dalam penyebaran
Injil di luat Angkola.
Dengan usia GKPA yang 36 tahun di tahun 2011 ini kita perlu pertanyakan
sejauhmana keberhasilan itu telah menyentuh kepada kesetaaan gender.
Meski banyak
perempuan yang sudah berperan seperti yang saya katakan di atas tadi tetapi
bila dibandingkan dengan laki-laki, kita masih jauh tertinggal. Tenaga pendeta
yang terdiri dari 53 orang hanya ada 8 orang pendeta perempuan dan hanya 4
orang yang berada di garis structural. GKPA hanya memiliki 2 tenaga Biblevrow
dan untuk tenaga pelayan sintua di jemaat masih lebih banyak laki-laki bahkan
dalam struktur Majelis Pusat yang terdiri dari 23 anggota hanya ada 3
perempuan, sungguh sangat ironis mengingat jemaat yang paling banyak datang
beribadah ke gereja adalah para perempuan. Dengan melihat keadaan yang tidak
sebanding antara laki-laki dan perempuan
dalam tingkat pengambilan keputusan, merupakan
indicator bagi kita bahwa suara perempuan belum terwakilkan dalam setiap
pengambilan keputusan di tingkat jemaat sampai ke tingkat pusat. Untuk hal ini sepertinya
perlu dikaji ulang sejauhmana kemampuan bermitra antara laki-laki dan
perempuan. Ada
kalanya laki-laki tidak memberikan kesempatan kepada perempuan karena anggapan
bahwa menjadi pemimpin tidak layak bagi perempuan sepanjang masih ada
laki-laki. Dan ada juga perempuan yang selalu membatasi dirinya dengan bingkai
budaya yang mengatakan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang cukup
mengurus rumah tangga saja.
● Beberapa hambatan-hambatan bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi
aktif dalam gereja.
▪Kurangnya
waktu, karena beban kerja yang terlalu berat. Ada kalanya perempuan yang bekerja menopang ekonomi
keluarga juga masih harus bekerja mengurusi kebutuhan rumah tangga.
▪Kurangnya
pengalaman, akibatnya kurang kreatif dalam memunculkan ide-ide baru dalam
pengembangan pelayanan.
▪Kurang percaya diri, sehingga tidak mau tampil dan selalu takut salah.
▪Terlalu
hormat kepada suami sehingga tidak mau tampil karena dianggap melangkahi hak-hak suaminya.
▪Kurangnya
pengetahuan atau ketrampilan.
▪Salah
mengartikan Firman Tuhan tentang hubungan laki-laki dan perempuan.
Dengan melihat hambatan-hambatan
ini maka kita perlu mencari jalan keluar dari persoalan tersebut misalnya:
▪Mengadakan
pelatihan kepada laki-laki dan perempuan untuk menumbuh
Kembangkan kesadaran sebagai mita kerja yang
dapat beker sama di rumah
Dan di luar rumah. Perempuan menyadari
pentingnya peranan laki-laki dan laki-
Laki memyadri pentingnya peranan perempuan.
▪Memberi
kesempatan bagi perempuan untuk bekerja diberbagai bidang yang
Tersedia di gereja.
▪Pelatihan
cara mengembangkan rasa percaya diri dan ketrampilan-ketrampilan
Lainnya.
▪Memberi
pengajaran yang benar tentang Firman Tuhan dengan tidak bias gender.
Penjemaatan membaca Alkitab dengan mata baru.
Dalam tugas pelayanannya GKPA harus bergerak
maju dengan memakai segala potensi yang dimilikinya dengan tidak bias gender. sesungguhnya,
GKPA , dalam upaya pengembangannya, bukan melulu terhambat oleh karena tiadanya
dana dan sarana, ataupun kekurangan tenaga, melainkan belum dikelolanya penatalayanan
dan ketrampilan serta kreativitas pendayagunaan potensi jemaat setempat. Usaha
pembinaan warga gereja demi tumbuhnya kesadaran
dan tanggung jawab demi partisipasi mereka yang maksimal perlu dikaji secara serius.
Peningkatan
sumber manusia, baik laki-laki maupun perempuan kiranya terus diupayakan,
sehingga pengembangan jemaat yang kita
maksud bukan hanya secara kwantitas tetapi pengembangan jemaat secara kwalitas.
- Penutup
Pengembangan
jemaat yang berbasiskan kesetaraan gender bukanlah pekerjaan mudah, pertama
kita harus berjuang untuk mencapai kesetaraan gender, termasuk kebebasan
perempuan untuk mengelola kehidupannya baik di dalam dan di luar rumah, hal ini
butuh dukungan dari semua fihak, karena kesetaraan gender merupakan salah satu
strategi pengembangan jemaat. Dibutuhkan juga perubahan strategi mendasar dalam
penyampaian dan pemahaman baru akan Firman Tuhan dan budaya Angkola agar dapat
menciptakan tatanan masyarakat yang adil bagi perempuan dan laki-laki.
Oleh:
Pdt.Nursini Sihombing
No comments:
Post a Comment
Diharap kritik dan saran yang membangun ya guys